Thursday, May 9, 2013

Review What They Don't Talk About When They Talk About Love: Bukan Film Cinta Biasa

What they don't talk about when they talk about love bercerita tentang kisah murid-murid sekolah untuk anak yang berkebutuhan khusus. Fitri dan Diana adalah dua orang sahabat di seolah itu, pada suatu hari Diana bertemu dengan Andika, seorang siswa yang tidak bisa melihat atau tuna netra. lama kelamaan Diana menyimpan rasa terhadap Andika, tapi di sisi lain ia juga mengidap gangguan penglihatan yang membuat dirinya hanya bisa melihat di jarak dua sentimeter saja. Ditambah dengan kenyataan bahwa sampai umur remaja, Diana belum juga menstruasi. Hal ini membuatnya tidak begitu percaya diri sebagai seorang wanita. Sedangkan Fitri yang sudah buta semenjak lahir diam-diam berhubungan dengan seorang arwah dokter yang selalu ia temui di tepi kolam renang setiap malam. Bagi Fitri, sang dokterlah yang selama ini membawa harapan baginya. Ia berharap suatu hari dapat bertemu dengan sosok dokter yang ia sukai. akankah Diana dan Fitri mendapatkan apa yang mereka inginkan?

Semenjak awal film ini dimulai, lo akan tahu kalo ini bukan film biasa. seperti judulnya, What they don't talk about when they talk about love. Film ini memang menghadirkan hal yang tidak pernah kita bicarakan saat kita bicara cinta, jadi buat gue nonton film ini membawa pengalaman yang unik dan cukup mengharukan. Gue salut dengan penggarapan film ini, minim dialog tapi kaya akan sinematografi. Gue yakin DOP film ini juga bukan orang biasa, dia mampu menghadirkan sudut pandang yang bener-bener gak biasa. Film ini memang mengangkat kehidupan orang-orang berkebutuhan khusus (atau biasa kita sebut penyandang cacat), dimenit awal aja gue langsung dibikin terkesima dengan bagaimana mereka menghibur gue dengan lagu Burung Camar. Gue merinding dengernya, ada hal magis yang mereka pancarkan. Selama film ini berlangsung, gue yang notabene orang normal merasa ditelanjangi. Gue bahkan sampe berkaca-kaca, dan selalu mikir kalo ternyata orang normal itu bener-bener egois. Kita kadang lupa kalo ada orang-orang yang mempunyai kemampuan terbatas yang juga butuh diperhatikan, dan dianggap seperti manusia normal. Mungkin kita bisa aja pergi ke mall dan nonton film di bioskop kalo lagi bosen di rumah, tapi coba deh lo pikir bagaimana rasanya jadi mereka. Mereka yang tidak bisa melihat seperti kita, atau mereka yang tidak bisa mendengar semenjak lahir. Apakah mereka mendapat hiburan dan kebebasan seperti yang kita dapatkan, coba lo itung berapa banyak fasilitas untuk mereka di mall. Atau adakah film di bioskop atau di TV yang menyediakan fasilitas lebih agar mereka bisa ikut menikmati? Jawaban dari semua pertanyaan di atas adalah enggak, mereka dipaksa untuk hidup di dunia yang terbatas, dikucilkan dan hanya mendapatkan hiburan yang sangat sedikit dan tidak layak (ketinggalan jaman). Makanya selama nonton film ini gue kayak ditarik ke dunia mereka dan ikut larut bersamanya. Gue jadi ikut merasakan gimana sih rasanya tinggal di sekolah asrama berkebutuhan khusus, dan gimana rasanya ketemu orang yang itu-itu aja setiap hari. Hal yang paling bikin gue sedikit terenyuh adalah: Gimana sih kalo lo pengen banget merasa dicintai, sampe-sampe lo lebih mencintai perasaan merasa dicintai ketimbang cinta itu sendiri. Yap, film ini memang bikin yang nonton terus berpikir di setiap menit film ini berlangsung.

Pemain-pemain yang mengisi peran di film ini juga bukan orang sembarangan, mereka adalah aktor dan aktris sejati buat gue. Mereka bener-bener total memerankan peran mereka masing-masing. Sebut saja Nicholas Saputra yang gue tahu sangat pemilih dalam menerima peran, dia memang aktor yang udah gak mengejar materi. Dia hanya mau memerankan film kalo skripnya cocok buat dia, dan itu yang gue salut sama dia. Di film ini juga gue salut sama Ayushita, selama ini memang gue menganggap dia aktris FTV dan drama menye-menye. Tapi saat gue nonton film ini, gue langsung liat siapa Ayushita sebenarnya. Dia memang bukan aktris kacangan. Selain Ayushita, Karina Salim juga mencuri perhatian gue selama film berlangsung. Gue emang udah gak asing sama dia, Karina pernah ikut proyek film pendek Joko Anwar "Durable Love". Semenjak liat Karina di Durable Love, dia memang terlihat sangat mencintai seni peran. Aktingnya terlihat sangat natural di film itu, dan menandakan bahwa biarpun orang baru, tapi dia gak bisa dianggap remeh. Apa lagi ditambah aktingnya di WTDTAWTTAL, membuat gue yakin seyakin-yakinnya kalo dia memang aktris yang berbakat. Malah dia juga seorang Ballerina, keren!

Pokoknya, What They Don't Talk About When They Talk About Love memang bukan tipe-tipe film mainstream yang mudah dipahami, lo harus bener-bener menyimak dengan baik dan berbaur dengan filmnya kalo mau dapet makna dari film ini. Walaupun bukan film Mainstream, bukan berarti film ini gak wajib lo tonton. Lo wajib nonton film ini kalo mau merasakan pengalaman sinematik yang berbeda dari biasanya, dan itu bagus untuk memperkaya wawasan lo. Jangan cuma film-film enteng yang lo tonton, tapi tonton juga film yang cukup berat. Hal yang paling gue suka dari film ini adalah bagaimana Mouly Surya menerjemahkan sebuah ironi dalam bahasa yang paling indah hingga kita akan bingung, harus miris atau terpukau. Kalo gak percaya, Lo liat poster filmnya yang gue post paling atas. Coba lo bayangin kira-kira apa yang dimaksud gambar itu, soalnya keliatannya romantis banget. Pasti itu adalah adegan yang sangat romantis, dan penuh dengan drama yang mengharukan suasana hati. Setelah itu lo nonton filmnya, dan dapatkan jawaban yang sebenarnya. Lo akan terpukau olehnya, good job Mouly Surya!

                                                    Mouly Surya, Benar-benar Filmmaker sejati.

Hal terakhir yang sangat berkesan buat gue dari film ini adalah: Film ini mengenalkan gue sama lagunya Bing Slamet yang judulnya Nurlela, awal denger sih agak aneh. Tapi ternyata enak juga lagunya, dan gue jadi suka sama lagu itu. Gue merasa senang sudah dikenalkan lagu Nurlela dari film ini, terima kasih Mouly!

Ahai Nurlela,
Sukanya berlagu mambo chacha
Hatinya takkan senang, duduknya tak tenang
Dengar bunyi gendang, ingin serta berlenggang.


Menonton film ini mengembalikan kepercayaan gue bahwa Indonesia masih mempunyai Sineas-Sineas muda yang berbakat, dan mampu menghasilkan karya yang berkualitas. Soalnya terakhir gue nonton film Indonesia di bioskop itu Habibie-Ainun, dan film itu bener-bener mengecewakan. Film itu cuma ajang meraup uang sebanyak-banyaknya dari penonton dan iklan, tanpa memperhatikan Estetika film sebagai sebuah karya seni. Sebenernya sih banyak film Indonesia bagus yang rilis setelah itu, tapi film-film itu pasti udah keburu turun layar sebelum gue berhasil nonton di bioskop. Tahu-tahu udah ilang aja kayak ninja -_-". Tapi emang masa tayang film Indonesia di bioskop cuma seumur jagung, kalo dalam beberapa hari penonton sepi langsung digusur sama film Hollywood. Kalo udah gini siapa yang salah? Pihak bioskop, penonton, atau pemerintah?

Tapi mulai sekarang gue janji bakal buru-buru nonton kalo ada film Indonesia yang berkualitas tayang di bioskop, cuma itu yang bisa gue lakukan untuk terus mendukung kemajuan film Indonesia. Dan gue malakukan itu bukan karena embel-embel Nasionalis, kalo emang filmnya bagus. Gue pasti nonton, tapi kalo jelek ya gue sih milih nonton film Hollywood aja :p.

Segini dulu deh review kali ini. Sampai ketemu di review selanjutnya.

Ade Hermawan Igama.

No comments:

Post a Comment